Dalam
perjalanan dunia pendidikan di Indonesia, ternyata kita telah 10 kali berganti
kurikulum.
Kurikulum
itu sendiri adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang
diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi
rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu
periode jenjang pendidikan. Penyusunan perangkat mata pelajaran ini disesuaikan
dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan dalam penyelenggaraan
pendidikan tersebut serta kebutuhan lapangan kerja. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum)
Kurikulum
sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai
dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu
perubahan kurikulum merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan
sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa
dan bernegara. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan
yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari
tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.
Perubahan
kurikulum di dunia pendidikan Indonesia sebagai berikut :
1. Kurikulum
1947
Kurikulum
pertama pada masa kemerdekaan namanya Rencana Pelajaran 1947. Ketika itu
penyebutannya lebih populer menggunakan leer plan (rencana pelajaran) ketimbang
istilah curriculum dalam bahasa Inggris. Rencana Pelajaran 1947 bersifat
politis, yang tidak mau lagi melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum
Belanda, yang orientasi pendidikan dan pengajarannya ditujukan untuk
kepentingan kolonialis Belanda. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Situasi
perpolitikan dengan gejolak perang revolusi, maka Rencana Pelajaran 1947, baru
diterapkan pada tahun 1950. Oleh karena itu Rencana Pelajaran 1947 sering juga
disebut kurikulum 1950.
Susunan
Rencana Pelajaran 1947 sangat sederhana, hanya memuat dua hal pokok, yaitu
daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, serta garis-garis besar
pengajarannya. Rencana Pelajaran 1947 lebih mengutamakan pendidikan watak,
kesadaran bernegara, dan bermasyarakat, daripada pendidikan pikiran. Materi
pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian,
dan pendidikan jasmani.
Mata
pelajaran untuk tingkat Sekolah Rakyat ada 16, khusus di Jawa, Sunda, dan
Madura diberikan bahasa daerah. Daftar pelajarannya adalah Bahasa Indonesia,
Bahasa Daerah, Berhitung, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, Sejarah,
Menggambar, Menulis, Seni Suara, Pekerjaan Tangan, Pekerjaan Keputrian, Gerak
Badan, Kebersihan dan Kesehatan, Didikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Agama. Pada awalnya pelajaran agama diberikan mulai
kelas IV, namun sejak 1951 agama juga diajarkan sejak kelas 1.
Garis-garis
besar pengajaran pada saat itu menekankan pada cara guru mengajar dan cara
murid mempelajari. Misalnya, pelajaran bahasa mengajarkan bagaimana cara
bercakap-cakap, membaca, dan menulis. Ilmu Alam mengajarkan bagaimana proses
kejadian sehari-hari, bagaimana mempergunakan berbagai perkakas sederhana (pompa,
timbangan, manfaat bes berani), dan menyelidiki berbagai peristiwa sehari-hari,
misalnya mengapa lokomotif diisi air dan kayu, mengapa nelayan melaut pada
malam hari, dan bagaimana menyambung kabel listrik.
Pada
perkembangannya, rencana pelajaran lebih dirinci lagi setiap pelajarannya, yang
dikenal dengan istilah Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata
pelajarannya jelas sekali. Seorang guru mengajar satu mata pelajaran”. Pada
masa itu juga dibentuk Kelas Masyarakat. yaitu sekolah khusus bagi lulusan SR 6
tahun yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan,
seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan. Tujuannya agar anak tak mampu
sekolah ke jenjang SMP, bisa langsung bekerja.
2. Kurikulum 1952
Setelah
Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami
penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling
menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana
pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan
sehari-hari
Kurikulum
1952 telah mengarah pada sistem pendidikan nasional, walaupun belum merata pada
seluruh wilayah di Indonesia, namun dapat mencerminkan suatu pemahaman dan
cita-cita para praktisi pendidikan akan pentingnya pemerataan pendidikan bagi
seluruh bangsa Indonesia.
Pada
Kurikulum 1952, materi pelajaran sudah berorientasi pada kebutuhan hidup para
siswa, sehingga hasil pembelajaran dapat berguna ketika ditengah masyarakat.
Karena
setiap guru mengajar satu mata pelajaran, maka memiliki keuntungan untuk lebih
menguasai bidang pengajarannya dengan
lebih baik, dari pada mengajar berbagai mata pelajaran.
3. Kurikulum 1964
Usai
tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem
kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964.
Isu
yang berkembang pada rencana pendidikan 1964 adalah konsep pembelajaran yang
bersifat aktif, kreatif, dan produktif. Konsep pembelajaran ini mewajibkan
sekolah membimbing anak agar mampu memikirkan sendiri pemecahan persoalan (problem
solving). Rencana Pendidikan 1964 melahirkan Kurikulum 1964 yang menitik
beratkan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang
kemudian dikenal dengan istilah Pancawardhana. Disebut Pancawardhana karena
lima kelompok bidang studi, yaitu:
1.
Kelompok perkembangan moral
2.
Kecerdasan
3. Emosional/artisitk
4.
Keprigelan (keterampilan), dan
5.
Jasmaniah.
Pada
saat itu pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan
fungsional praktis, yang disesuaikan dengan perkembangan anak. Cara belajar
dijalankan dengan metode disebut gotong royong terpimpin. Selain itu pemerintah
menerapkan hari sabtu sebagai hari krida. Maksudnya, pada hari Sabtu, siswa diberi
kebebasan berlatih kegiatan di bidang kebudayaan, kesenian, olah raga, dan
permainan, sesuai minat siswa.
Penyelenggaraan
pendidikan dengan kurikulum 1964 mengubah penilaian di rapor bagi kelas I dan
II yang asalnya berupa skor 10 – 100 menjadi huruf A, B, C, dan D. Sedangkan
bagi kelas II hingga VI tetap menggunakan skor 10 – 100.
4. Kurikulum 1968
Kurikulum
1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan
struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa
pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan
perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.
Dari
segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan
pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan
keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi
kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kelebihan
dari Kurikulum 1968 adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat
mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga
pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu
pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.
Perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan
jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1964
merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen. Ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila
sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani,
moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama.
Kekurangan
dari Kurikulum 1968 adalah masih sentralistik (sistem masih diatur oleh
pusat/pemerintah) jadi tiap satuan pendidikan tidak dapat mengatur sistem
pendidikannya secara mandiri. Jumlah pelajarannya hanya 9. Djauzak menyebut
Kurikulum 1964 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran
pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis,
tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada
materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
5. Kurikulum
1975
Kurikulum
1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang
melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO
(management by objective) yang terkenal saat itu. Metode, materi, dan tujuan
pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).
Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap
satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan
instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan
belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin
sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
Pada
tahun ini pengajaran matematika modern resminya dimulai. Model pembelajaran
matematika modern ini muncul karena adanya kemajuan teknologi. Di Amerika
Serikat perasaan adanya kekurangan orang-orang yang mampu menangani senjata,
rudal dan roket sangat sedikit, mendorong munculnya pembaharuan pembelajaran
matematika.
W.
Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna
dan berpengertian. Teori Gestalt yang muncul sekitar tahun 1930, dimana Gestalt
menengaskan bahwa latihan hafal adalah sangat penting dalam pengajaran namun
diterapkan setelah tertanam pengertian pada siswa.
Dua
hal tersebut di atas memperngaruhi perkembangan pembelajaran matematika di
Indonesia. Berbagai kelemahan seolah nampak jelas, pembelajaran kurang
menekankan pada pengertian, kurang adanya kontinuitas, kurang merangsang anak
untuk ingin tahu, dan lain sebagainya. Ditambah lagi masyarakat dihadapkan pada
kemajuan teknologi. Akhirnya Pemerintah merancang program pembelajaran yang
dapat menutupi kelemanahn-kelemahan tersebut.
Muncullah
kurikulum 1975 dimana matematika saat itu mempunyai karakteristik sebagai
berikut.
1)
Membuat topik-topik dan pendekatan baru. Topik-topik baru yang muncul adalah
himpunan, statistik dan probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno, penulisan
lambang bilangan non desimal.
2)
Pembelajaran lebih menekankan pembelajaran bermakna dan berpengertian dari pada
hafalan dan ketrampilan berhitung.
3)
Program matematika sekolah dasar dan sekolah menengah lebih kontinyu.
4)
Pengenalan penekanan pembelajaran pada struktur.
5)
Programnya dapat melayani kelompok anak-anak yang kemampuannya hetrogen.
6)
Menggunakan bahasa yang lebih tepat.
7)
Pusat pengajaran pada murid tidak pada guru.
8)
Metode pembelajaran menggunakan meode menemukan, memecahkan masalah dan teknik
diskusi.
9)
Pengajaran matematika lebih hidup dan menarik.
6. Kurikulum
1984
Kurikulum
1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses,
tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum
1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa d itempatkan sebagai subjek belajar.
Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model
ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Kurikulum
1984 ini berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan
bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat
terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu,
sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan
adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
Pembelajaran
matematika pada era 1980-an merupakan gerakan revolusi matematika. Revolusi ini
diawali oleh kekhawatiran negara maju yang akan disusul oleh negara-negara
terbelakang saat itu, seperti Jerman barat, Jepang, Korea, dan Taiwan.
Pengajaran matematika ditandai oleh beberapa hal yaitu adanya kemajuan
teknologi muthakir seperti kalkulator dan komputer.
Perkembangan
matematika di luar negeri tersebut berpengaruh terhadap matematika dalam
negeri. Di dalam negeri, tahun 1984 pemerintah melaunching kurikulum baru,
yaitu kurikulum tahun 1984. Alasan dalam menerapkan kurikulum baru tersebut
antara lain, adanya sarat materi, perbedaan kemajuan pendidikan antar daerah
dari segi teknologi, adanya perbedaan kesenjangan antara program kurikulum di
satu pihak dan pelaksana sekolah serta kebutuhan lapangan dipihak lain, belum
sesuainya materi kurikulum dengan tarap kemampuan anak didik. Dan, CBSA (cara
belajar siswa aktif) menjadi karakter yang begitu melekat erat dalam kurikulum
tersebut. Dalam kurikulum ini siswa di sekolah dasar diberi materi aritmatika
sosial, sementara untuk siswa sekolah menengah atas diberi materi baru seperti
komputer. Hal lain yang menjadi perhatian dalam kurikulum tersebut.
Langkah-langkah
agar pelaksanaan kurikulum berhasil adalah melakukan hal-hal sebagai berikut;
a.
Guru supaya meningkatkan profesinalisme
b.
Dalam buku paket harus dimasukkan kegiatan yang menggunakan kalkulator dan
computer
c.
Sinkronisasi dan kesinambungan pembelajaran dari sekolah dasar dan sekolah
lanjutan
d.
Pengevaluasian hasil pembelajaran
e.
Prinsip CBSA di pelihara terus
7. Kurikulum
1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Pengembang Kurikulum : Pusat
Kurikulum
Pendekatan Pembelajaran
: Berorientasi pada GBPP
Pengorganisasian Materi
: Berpusat pada bidang studi
Pendekatan Penilaian : Mengutamakan
penilaian hasil pembelajaran
Perangkat Pembelajaran
: Satuan pelajaran dan rencana pengajaran
Hasil Pendidikan : Pencapaian
tujuan
Peran Pendidik : Instruktur
Kurikulum
1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan
Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini
berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem
semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam
satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa
untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak. Terdapat ciri-ciri yang
menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut.
Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan Pembelajaran di
sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada
materi pelajaran/isi).
Secara
umum tujuan diterapkannya kurikulum 1994 adalah meningkatkan mutu pendidikan
melalui siswa mampu menguasai materi yang diberikan, bahan ajar berdasarkan TIU
(Tujuan Institusional Umum) dan TIK (Tujuan Institusional Khusus) dan
menyiapkan siswa melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Pada
kurikulum 1994 muncul istilah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Kegiatan belajar
cenderung di dalam kelas, mengejar target berupa materi yang harus dikuasai,
berorientasi kognitif. Bahan ajar yang akan disampaikan oleh guru harus
berdasarkan pada TIU dan TIK (tujuan pembelajaran). Selain itu, kurikulum 1994
bertujuan untuk membekali siswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi.
Kegiatan
belajar cenderung didalam kelas. Proses pembelajaran bersifat klasikal dengan
tujuan menguasai materi pelajaran. Guru dianggap sebagai pusat dari
pembelajaran, karena guru menyampaikan materi hanya menggunakan satu metode
saja, yaitu metode ceramah. Oleh karena itu guru dianggap sebagai pusat
pembelajaran. Metode yang digunakan mengajar cenderung monotone yaitu ceramah,
tidak menggunakan metode-metode lain yang melibatkan siswa aktif. Guru mengajar
hanya mengejar target berupa materi yang harus dikuasai dan berorientasi
kognitif.
Namun,
perpaduan tujuan dan proses pada kurikulum 1994 belum berhasil. Kritik
bertebaran, dikarenakan beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan
nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah
masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan
lain-lain. Hasilnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat.
Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999.
Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
8.
Kurikulum 2004 (KBK)
Kurikukum 2004 ini lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada
pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai
dengan standar performance yang telah ditetapkan. Competency Based Education is
education geared toward preparing indivisuals to perform identified
competencies (Scharg dalam Hamalik, 2000: 89). Hal ini mengandung arti bahwa
pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat
kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu
kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran.
Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan (2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya (Puskur, 2002a).
Tujuan yang ingin dicapai menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan (2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya (Puskur, 2002a).
Tujuan yang ingin dicapai menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
9.
Kurikulum 2006 (KTSP)
KTSP
adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing
satuan pendidikan (sekolah) dengan mengacu pada Standar nasional Pendidikan
yang telah disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan ( BSNP).
Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan penyempurnaan dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) yang sentralistik menjadi desentralistik, disusun
oleh satuan pendidikan (sekolah) masing-masing. KTSP dapat memberikan
keleluasaan berkreasi bagi satuan pendidikan, membentuk diferensiasi untuk
berkompetisi menuju pendidikan Indonesia yang lebih baik.
KTSP
diluncurkan untuk menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan kebutuhan dan
potensi yang ada di daerah. Mengingat adanya keberagaman etnis, budaya,
kemampuan, dan potensi daerah selama ini, belum terakomodir secara optimal
dalam pengembangan kurikulum pendidikan nasional. Padahal keberagaman tersebut,
merupakan aset yang dapat dikembangkan menjadi nilai-nilai keunggulan nasional.
KTSP
harus mengacu terutama pada 2 (dua) standar, yaitu Standar Isi dan Standar
Kompetensi Lulusan. Target yang ingin dicapai adalah setiap satuan pendidikan
akan memiliki diferensiasi dan kreativitas pendidik yang dapat memacu kompetisi
ke arah pendidikan Indonesia yang dapat lebih baik.
Penyusunan
KTSP didasarkan pada prinsip diversifikasi kurikulum. Masing-masing satuan
pendidikan dapat menyesuaikan kurikulumnya, dengan kekhasan sesuai keperluan
satuan pendidikan, potensi daerah dan kondisi peserta didik.
10.
Kurikulum 2013
Sifat: pendidikan berbasis karakter. Kurikulum
2013 mengutamakan pemahaman, keterampilan, dan siswa dituntut memahami materi,
aktif berdiskusi dan presentasi, serta memiliki sopan santun disiplin yang
tinggi. Dalam Kurikulum 2013 terdapat mata pelajaran wajib dan mata pelajaran
pilihan sesuai dengan keinginan peserta didik.
Namun saat ini MENDIKBUD Anies Rasyid Baswedan mengambil keputusan untuk menyetop
penerapan Kurikulum 2013. Ia merekomendasikan agar sekolah-sekolah yang baru
semester lalu sudah menerapkan Kurikulum 2013, maka untuk seterusnya bisa
kembali menggunakan Kurikulum 2006 atau yang lazim disebut KTSP.
Dari berbagai Sumber
Dari berbagai Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar